Sabtu, 12 Mei 2012

Birokrasi Indonesia


Birokrasi yang sempurna mungkin tidak pernah bisa diwujudkan, tidak ada satupun organisasi empiris yang memiliki struktur yang sama  persis dengan konstruksi ilmiah. Model tipe birokrasi yang ideal sebenarnya bukanlah satu skema konseptual semata, tidak hanya mencakup definisi-definisi konsep, tetapi tentang hubungan pelayanan yang diberikan pemerintah terhadap masyarakat itu secara khusus sehingga birokrasi mendorong efisiensi administrasi.
Birokrasi di Indonesia memiliki posisi dan peran yang sangat strategis. Birokrasi menguasai banyak aspek dari hajat hidup masyarakat. Mulai dari urusan kelahiran, pernikahan, perizinan usaha sampai urusan kematian, masyarakat tidak bisa menghindar dari birokrasi. Ketergantungan masyarakat sendiri terhadap birokrasi juga masih sangat besar. Ditinjau dari aspek kebudayaan, aparatur birokrasi memiliki status sosial yang tinggi di tengah masyarakat. Status sosial tersebut merupakan aset kekuasaan, karena orang cenderung mau tunduk pada orang lain yang memiliki status sosial lebih tinggi, inilah yang menyebabkan terjadinya penyakit birokrasi ini. Seperti Suap menyuap para pegawai pemerintah.
Di Indonesia yang notabene masih dalam tahap reformasi birokrasi terbilang belum sangat baik menjalankan birokrasi tersebut. Karena penyakit birokrasi saat ini sudah mencapai tingkat yang paling akut. Kalau disamakan dengan penyakit, itu sudah penyakit kangker stadium paling tinggi dan sudah saatnya harus dioperasi untuk penyembuhannya.
Parahnya sistem birokrasi ini, dilihat dari fakta di lapangan, aroma suap menyuap masih kental pada instansi pemerintah. Belum lagi, budaya PNS yang tidak profesional sudah mendarah daging sehingga sulit mengubahnya. Birokrasi di Indonesia sulit menghindar dari berbagai kritik yang hadir yaitu: Buruknya pelayanan public, Rendahnya profesionalisme dan kompetensi PNS, Sulitnya pelaksanaan koordinasi antar instansi, Tingginya biaya yang dibebankan untuk pengurusan hal tertentu baik yang berupa legal cost maupun illegal cost, waktu tunggu yang lama, banyaknya pintu layanan yang harus dilewati dan tidak berperspektif pelanggan.
Meski sudah akut, namun masih ada jalan untuk memperbaikinya. Salah satunya adalah dengan membuat aturan ketat agar celah penyimpangan bisa diatasi. Disertai  pelaksanaan yang baik oleh pegawai agar dapat menciptakan efisiensi dan efektivitas birokrasi.
Dilihat dari kondisi yang menumbuhkan birokratisasi dari segi structural disebutkan bahwa terkadang perlu adanya hubungan-hubungan informal dalam organisasi. Menurut penulis itu sangat baik sekali dalam membantu jalannya birokrasi.
Ada banyak bukti yang mengatakan hubungan-hubungan informal dalam praktek-praktek tak resmi sering memberi konstribusi terhadap efesiensi. Terkadang organisasi eksternal yang mendukung justru kuat dalam membantu tim utama dalam organisasi, karena mereka tidak terlalu terjebak dengan kerja-kerja institusi tapi lebih kepada kerja professional.
Seperti KPK misalnya perannya dalam pemberantasan korupsi, ketika organisasi formal pemberantasan korupsi dan penegakan tidak mampu bekerja secara baik, bahkan relative kehilangan kekuatan yang dibuat tidak berdaya seperti Kejaksaan, Polisi, oleh para mafia. Muncul KPK sebagai lembaga Negara yang dinamakan Komisi Pemberantasan Korupsi, justru kerja KPK lebih efisein dibandingkan dengan organisasi formal selama ini Kejaksaan dan kepolisian misalnya.
Namun dalam masyarakat modern ini persoalan birokrasi juga belum selesai, tetap masih banyak patologi-patologi birokrasi dalam perjalanannya, artinya adalah sudah habis teori dibedah dan menganalisis kenapa birokrasi membutuhkan waktu yang lama, tidak efesiensi, tidak akuntabil, dan berbelit belit, membutuhkan biaya yang mahal. Persoalannya menurut saya bukan salah teorinya tetapi lebih kepada individu-individu yang menjalankan birokrasi itu sendiri, bahkan tidak jarang para mafia memanfaatkan yang namanya uang pelicin untuk memudahkan dan melancarkan pelayanan khusus kepada orang yang mampu memberi banyak uang kepada petugas, kenapa ini bisa terjadi?  Kondisi struktural budaya masyarakat itu mencerminkan bagaimana mereka melayani dalam urusan birokrasi yang berlaku sama antara pelayanan si miskin dengan si kaya. Dan ada ungkapan yang mengatakan apabila uang banyak maka pelayanan akan cepat, namun apabila tidak ada uang ya mau tidak mau pelayanan akan lama. Semoga saja, birokrasi di era modern ini ada solusi, masyarakat tidak lagi harus terbelenggu dengan sistem birokrasi kita yang terbilang ribet bukan hanya soal administrasinya namun juga soal biayanya.
(Tugas Analisa Mata Kuliah Birokrasi Indonesia, Dosen: Drs. H. Mukhlis)
Semoga bermanfaat :)

»»  Selengkapnya...

Rabu, 09 Mei 2012

Partai Politik


A. Sejarah Partai Politik di Indonesia
Perkembangan partai politik di Indonesia dapat digolongkan dalam beberapa periode perkembangan, dengan setiap kurun waktu mempunyai ciri dan tujuan masing-masing, yaitu : Masa penjajahan Belanda, Masa pedudukan Jepang dan masa merdeka.
Ø   Masa penjajahan Belanda
Pada tahun 1939 di Hindia Belanda telah terdapat beberapa fraksi dalam volksraad yaitu Fraksi Nasional, Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi-Putera, dan Indonesische Nationale Groep. Sedangkan di luar volksraad ada usaha untuk mengadakan gabungan dari Partai-Partai Politik dan menjadikannya semacam dewan perwakilan nasional yang disebut Komite Rakyat Indonesia (K.R.I). Di dalam K.R.I terdapat Gabungan Politik Indonesia (GAPI), Majelisul Islami A'laa Indonesia (MIAI) dan Majelis Rakyat Indonesia (MRI). Fraksi-fraksi tersebut di atas adalah merupakan partai politik - partai politik yang pertama kali terbentuk di Indonesia.
Masa ini disebut sebagai periode pertama lahirnya partai politik di Indoneisa (waktu itu Hindia Belanda). Lahirnya partai menandai adanya kesadaran nasional. Pada masa itu semua organisasi baik yang bertujuan sosial seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah, ataupun yang berazaskan politik agama dan sekuler seperti Serikat Islam, PNI dan Partai Katolik, ikut memainkan peranan dalam pergerakan nasional untuk Indonesia merdeka.
Kehadiran partai politik pada masa permulaan merupakan menifestasi kesadaran nasinal untuk mencapai kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Setelah didirikan Dewan Rakyat , gerakan ini oleh beberapa partai diteruskan di dalam badan ini. Pada tahun 1939 terdapat beberapa fraksi di dalam Dewan Rakat, yaitu Fraksi Nasional di bawah pimpinan M. Husni Thamin, PPBB (Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi Putera) di bawah pimpinan Prawoto dan Indonesische Nationale Groep di bawah pimpinan Muhammad Yamin.
Di luar dewan rakyat ada usaha untuk mengadakan gabungan partai politik dan menjadikannya semacam dewan perwakilan rakyat. Pada tahun 1939 dibentuk KRI (Komite Rakyat Indoneisa) yang terdiri dari GAPI (Gabungan Politik Indonesia) yang merupakan gabungan dari partai-partai yang beraliran nasional, MIAI (Majelis Islamil Alaa Indonesia) yang merupakan gabungan partai-partai yang beraliran Islam yang terbentuk tahun 1937, dan MRI (Majelis Rakyat Indonesia) yang merupakan gabungan organisasi buruh.

Ø   Masa pendudukan Jepang
Pada masa ini, semua kegiatan partai politik dilarang, hanya golongan Islam diberi kebebasan untuk membentuk partai Masyumi, yang lebih banyak bergerak di bidang sosial.

Ø   Masa Merdeka (mulai 1945).
Beberapa bulan setelah proklamsi kemerdekaan, terbuka kesempatan yang besar untuk mendirikan partai politik, sehingga bermunculanlah parti-partai politik Indonesia. Dengan demikian kita kembali kepada pola sistem banyak partai. Pemilu 1955 memunculkan 4 partai politik besar, yaitu : Masyumi, PNI, NU dan PKI. Masa tahun 1950 sampai 1959 ini sering disebut sebagai masa kejayaan partai politik, karena partai politik memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara melalui sistem parlementer. Sistem banyak partai ternyata tidak dapat berjalan baik. Partai politik tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, sehingga kabinet jatuh bangun dan tidak dapat melaksanakan program kerjanya. Sebagai akibatnya pembangunan tidak dapat berjaan dengan baik pula. Masa demokrasi parlementer diakhiri dengan Dekrit 5 Juli 1959, yang mewakili masa masa demokrasi terpimpin.
Pada masa demokrasi terpimpin ini peranan partai politik mulai dikurangi, sedangkan di pihak lain, peranan presiden sangat kuat. Partai politik pada saat ini dikenal dengan NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis) yang diwakili oleh NU, PNI dan PKI. Pada masa Demokrasi Terpimpin ini nampak sekali bahwa PKI memainkan peranan bertambah kuat, terutama memalui G 30 S/PKI akhir September 1965).
Setelah itu Indonesia memasuki masa Orde Baru dan partai-partai dapat bergerak lebih leluasa dibanding dengan msa Demokrasi terpimpin. Suatu catatan pada masa ini adalah munculnya organisasi kekuatan politik bar yaitu Golongan Karya (Golkar). Pada pemilihan umum thun 1971, Golkar munculsebagai pemenang partai diikuti oleh 3 partai politik besar yaitu NU, Parmusi (Persatuan Muslim Indonesia) serta PNI.
Pada tahun 1973 terjadi penyederhanaan partai melalui fusi partai politik. Empat partai politik Islam, yaitu : NU, Parmusi, Partai Sarikat Islam dan Perti bergabung menjadi Partai Persatu Pembangunan (PPP). Lima partai lain yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia, Parati Katolik, Partai Murba dan Partai IPKI (ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia. Maka pada tahun 1977 hanya terdapat 3 organisasi keuatan politik Indonesia dan terus berlangsung hinga pada pemilu 1997.
Setelah gelombang reformasi terjadi di Indonesia yang ditandai dengan tumbangnya rezim Suharto, maka pemilu dengan sistem multi partai ekmabli terjadi di Indonesia. Dan terus berlanjut hingga pemilu 2004 nanti.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Partai Politik di Indonesia sejak masa merdeka adalah:
1.    Maklumat X Wakil Presiden Muhammad Hatta (1955)
2.    Undang-Undang Nomor 7 Pnps Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan             Penyederhanaan Kepartaian
3.    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai-Partai
4.    Undang-Undang Nomor 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan       Karya
5.    Undang-Undang Nomor 3 tahun 1985 tentang Perubahan Atas Undang-Undang          Nomor 7 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya
6.    Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik
7.    Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik
8.    Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (berlaku saat ini)

B.  TUJUAN PARTAI POLITIK

Adapun tujuan partai politik menurut Undang-Undang  No. 2 Tahun 2008 Pasal 10 yaitu:

Tujuan umum Partai Politik adalah:
1.Mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun     1945
2.Menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
3.Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
4.        Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia
       Tujuan khusus Partai Politik adalah:
1.   Meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan
2.   Memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan
3.      Membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

C.    FUNGSI PARTAI POLITIK
 Dalam praktek kekinian, setidaknya ada empat fungsi partai politik, yaitu:
Pertama, partai sebagai sarana komunikasi politik. Partai menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat. Partai melakukan penggabungan kepentingan masyarakat (interest aggregation) dan merumuskan kepentingan tersebut dalam bentuk yang teratur (interest articulation). Rumusan ini dibuat sebagai koreksi terhadap kebijakan penguasa atau usulan kebijakan yang disampaikan kepada penguasa untuk dijadikan kebijakan umum yang diterapkan pada masyarakat.
Menghubungkan antara arus informasi dari pihak pemerintah kepada masyarakat atau sebaliknya darai masyarakat kepada pemerintah.
Kedua, partai sebagai sarana sosialisasi politik. Partai memberikan sikap, pandangan, pendapat, dan orientasi terhadap fenomena (kejadian, peristiwa dan kebijakan) politik yang terjadi di tengah masyarakat. Sosialisi politik mencakup juga proses menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan, partai politik berusaha menciptakan image (citra) bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum.
Ketiga, partai politik sebagai sarana rekrutmen politik. Partai politik berfungsi mencari dan mengajak orang untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. Serta Seleksi dan pemilihan serta pengankatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam system politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya.
Keempat, partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Di tengah masyarakat terjadi berbagai perbedaan pendapat, partai politik berupaya untuk mengatasinya. Namun, semestinya hal ini dilakukan bukan untuk kepentingan pribadi atau partai itu sendiri melainkan untuk kepentingan umum.

D.     KLASIFIKASI PARTAI POLITIK
Dari model system kepartaian pada dasarnya yang dianut suatau Negara, kita bisa memahaminya dengan membedakannya berdasarkan jumlah: system partai tunggal (single party system) atau satu partai (one party system), dan system banyak partai (multi party system).
Ø  Satu partai (One Party System)
Pada system partai tunggal, biasanya hanya satu partai yang diakui Negara. Partai itu juga sering disebut partai Negara (state party) atau partai pemerintahan. Kedudukan partai bersangkutan tanpa saingan partai lain, atau partai berkedudukan dominant diantara partai lainnya.
Kehadiran partai yang beroposisi dipandang sebagai pengkhianatan. Kalaupun dalam Negara yang menganut system ini dilaksanakan pemilu, diasanya hanya sekedar untuk melegitimasikan kekuasaan yang mapan (established). Pola semacam ini yang dapat kita lihat di Negara RRC, dan dibeberapa Negara Afrika, serta contoh kasus yang terdahulu diterapkan dinegara-negara bekas komunisme seperti Eropa Timur dan Uni Soviet.
Ø  Dua Partai (Two Party System)
Dalam system dua-partai atau dwi-partai dapat digambarkan adanya dua partai yang berperan dominant dalam Negara. Kalaupun ada partai kecil lain, peran dominant peran dominant tetap ditangan dua partai. Dalam system ini, satu pihak ada partai yang berkuasa karena menang dalam pemilu, sedangkan dipihak lain partai yang kalah pemilu menjadai oposisi. Partai oposisis umumnya berperan sebagai utama partai yang brkuasa,namu peran oposisi bisa saja bertukar tergantung paratai mana yang kalah atau menang pemilu.
Contoh praktek system dua partai misalnya dapat dilihat dalam kasus sejumlah Negara, seperti inggris (partai konservativ dan partai buruh) dan Amerika Serikat (partai republic dan partai democrat).
Ø  Multi Partai (Multy Party System)
Dalam system dwi-partai, lazimnya maka terdapat dua partai yang saling bertarung untuk dapat tampil sebagai pemenang pemilu. Biasanya, pemilu yang dilaksanakan berdasarkan system dwi-partai ini menggunakan system pemilu, dimana dalam setiap daerah pemilihannnya hanya satu wakil yang terpilih. Hanya partai yang menang yang berhak punya wakil, sedang partai yang kalah tidak.
Sistem multi partai, merupakan system diaman lebih dari satu atau banyak partai bersaing memperebutkan kekuasaan. System ini biasanya diperkuat dengan system pemilu proposional, katena setiap partai dapat menarik keuntungan dari ketentuan bahwa kelebihan suara yang didapatnya di suatu unit dapat ditarik ke unit lainnya, untuk menggunakan jumlah suara yang diperlukan untuk memenangkan satu kursi. Sebagai aturan main dalam system proposional umunya , setiap partai punya kesempatan memperoleh jatah kursi di parlemen.
Ada Pendapat yang mengemukakan baik system dwi-partai maupun system multi partai tidak cocok diterapkan di negara-negara berkembang , terutam disebabkan system ini rentan di tengah lemahnya consensus rasional yang mungkin diciptak an diantara actor-aktor politik kepartaian. Sistem multi-partai utamanya, mudah menimbulakan fragmentasi dan konflok social politik. Apalagi jika Negara yang di terapkan system ini berbentuk system parlementer dimana titik berat kekuasaan pada partai-partai atau parlemen, maka resiko yang akan dihadapi adalah ketidak stabilan pemerintahan yang disebabkan cabinet yang jatuh bangun.
Pendapat lain mengatakan justru sebaliknya, bahwa dalam suatu Negara dengan ciri masyarakatnya yang majemuk, system multi partai, karena system ini lebih mampu menyalurkan keanekaragaman social budaya dan politik seperti suku, ras, kelas, agama, golongan, Profesi bahkan perbedaan kepentingan idiologi. Sisitem multi partai ini ditemukan di banyak Negara dengan berbagai variasi yang khas seperti Indonesia, Belanda, Prancis dan Swedia.
Untuk mengatasi kesemerawutan politik akibat penerapan system multi partai akhirnya beberapa Negara berusaha mengubah system pemerintahannya, dari parlementer ke presidensial, termasuk Indonesia sebagai contohnya. Hal ini yang mendasari perubahan setelah Dekrit Presiden 5 juli 1959, ketika Presdien Soekarno mengembalikan system presidensial untuk memperkuat kekuasaan eksekutif, meskipun akhirnya Soekarno bertindak sebagaimana yang diatur dalam konstiutsi UUD 1945 sendiri. 
»»  Selengkapnya...

Sejarah Pemilihan Umum


Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang - orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan.
Pemilu merupakan salah satu usaha untuk memengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, public relations, komunikasi massa, lobby dan lain-lain kegiatan. Meskipun agitasi dan propaganda di Negara demokrasi sangat dikecam, namun dalam kampanye pemilihan umum, teknik agitasi dan teknik propaganda banyak juga dipakaioleh para kandidat atau politikus selalu komunikator politik.
Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara.
Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih.
Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum, akan tetapi umumnya berkisar dua prinsip pokok, yaitu :
a.       Single member constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil; biasanya disebut Sistem Distrik)
b.      Multi member constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil; biasanya dinamakan Proportional Representation atau Sistem Perwakilan Berimbang)

 Sejarah Pemilihan Umum
 1.             Masa yunani dan romawi kuno
Sebenarnya mengenai istilah kedaulatan rakyat sudah dijalankan pada masa Yunani Kuno sekitar abad ke-IV sebelum masehi, dimana rakyat saat itu ikut melakukan hak-hak politiknya dalam menjalankan pemerintahan. Pada saat itu dinamakan Demokrasi yang berasal dari kata ‘demos’ yang berarti rakyat dan ‘cratein’ yang berarti pemerintahan. Rakyat Yunani Kuno memilih sendiri secara langsung siapa yang menjadi pemimpinnya, dan juga apa yang menjadi kebutuhan dan keinginannya. Akan tetapi pelaksanaan kedaulatan rakyat secara langsung tersebut sudah tidak dapat dilaksanakan lagi untuk saat ini. Pada masa itu di Yunani kuno cara pelaksanaan kedaulatan rakyat seperti itu dapat dilakukan karena penduduknya hanya berjumlah sedikit, dan wilayah Yunani hanya merupakan suatu Polis State atau negara kota. Sebuah negara yang kita kenal saat ini lebih besar daripada yang terdapat pada masa Yunani Kuno, baik dilihat dari wilayah maupun jumlah penduduknya.
Kemudian dilanjutkan pada masa Romawi Kuno, yang pada awalnya berbentuk negara Monarki atau kerajaan dengan berbagai suku bangsa. Pemerintahan monarki ini didampingi oleh suatu badan perwakilan yang anggota-anggotanya hanya terdiri dari kaum Patricia (ningrat). Didalam sistem pemerintahan ini telah ada bibit-bibit demokrasi. Kemudian sistemdemokrasi dilaksanakan dengan diusirnya rajaterakhir dari takhta nya, dan terjadi pertentangan antara kaum Patricia (ningrat) dengan kaum Plebeia (rakyat jelata), dimana pertentangan tersebut diselesaikan dalam perundingan 12 meja. Dan kemudian pemerintahan saat itu  dipegang oleh dua orang konsul bersama-sama dengan Dewan pemerintah menjalankan pemerintahan dengan UU. Dengan demikian Romawi Kuno telah mengalami perubahan dari negara Kerajaan menjadi Negara Demokrasi, hanya dalam keadaan darurat misalnya peperangan kekuasaan dipusatkan pada satu tangan yang dinamakan Diktator yang mempunyai kekuasaan yang besar dan mutlak, akan tetapi ini hanya bersifat sementara. Setelah keadaan normal kembali, pemerintahannya menggunakan sistem Demokrasi atau kedaulatan rakyat.

2.    Abad ke XVII dan Abad ke XVIII
Kemudian pada abad ke XVII dasn ke VIII, dengan munculnya kembali teori tentang hukum alam yang menggali kembali ajaran yunani kuno dan romawi kuno, muncul pula lah ahli-ahli hukum dan ketatanegaraan. Pada sekitar abad ini muncullah pemikir-pemikir besar yang menentang kedaulatan Raja, misalnya Raja Frederik yang agung (1712-1786) yang menentang ajaran Nicholo Machiavelli, kemudian John Locke (1632-1704) yang menyatakan tentang adanya hak-hak alamiah manusia (yaitu hak atas hidup, hak merdeka, dan hak atas milik) dan membatasi setiap kekuasaan apapun terdapat manusia harus dibatasi oleh hak-hak alamiah ini. Untuk menjamin terlindunginya hak-hak alamiah ini, lalu manusia mengadakan perjanjian masyarakat untuk membentuk masyarakat dan selanjutnya negara. Masyarakat kemudian menunjuk seorang penguasa diberikan wewenang untuk menjaga dan menjamin terlaksananya hak-hak alamiah tersebut. Dan dalam menjalankan kekuasaannya, penguasa dibatasi oleh hak-hak alamiah tersebut.
Berbeda dengan pendapat Thomas Hobbes (1588-1679) yang mengatakan kekuasaan penguasa itu bersifat mutlak. Menurut Thomas perjanjian masyarakat sifatnya langsung, artinya orang-orang yang menyelenggarakan perjanjian itu langsung menyerahkan atau melepaskan haknya atau kemerdekaannya kepada raja, jadi tidak melalui masyarakat, raja berada diluar perjanjian itu, dengan demikian raja tidak terikat oleh perjanjian, dan mempunyai kekuasaan yang absolute. Perjanjian itu sendiri terjadi karena adanya rasa takut yang ada pada tiap-tiap manusia.
Di Perancis, rakyat berusaha merubah Majelis Permusyawaratan dengan suatu rapat nasional yang tuntutannya adalah harus memberikan suatu konstitusi, yaitu suatu perjanjian masyarakat yang diperbaharui yang sifatnya tertulis, diciptakan oleh seluruh warga Negara, didalamnyaditentukan hak-hak dari para warga Negara atau hak asasi manusia. Demikian pula di Negara-negara lain memroklamasikan kemerdekaan dan kedaulatannya, membuat Undang-Undang Dasar dengan mencantumkan hak-hak asasi manusia yang tidak boleh diganggu gugat dan dibatasi oleh Negara.

3.    Abad Ke XIX Sampai Saat ini
Pada abad ke XIX ini telah mulai terbentuk partai-partai politik dan dianggap perlu untuk dapat bekerjanya badan-badan perwakila yang mencerminkan kemauan rakyat yang sesungguhnya, atau representif dari rakyat. Dan dengan keadaan tersebut berkembanglah demokrasi modern, hingga saat ini. Di banyak Negara di dunia saat ini, di dalam konstitusinya tertulis bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, yang berarti dengan bahwa Negara tersebut menganut asas kedaulatan rakyat. Menganut asas kedaulatan rakyat berarti bahwa kekuasaan pemerintah bersumber pada kehendak rakyat. Prinsip dasar inilah yang kemudian dikenal sebagai prinsip demokrasi.
Meskipun elemen-elemen dari demokrasi langsung dapat ditemui bahkan pada beberapa Negara demokrasi besar, demokrasi biasanya adalah perwakilan demokrasi, pemerintah yang dipilih secara bebas mewakili rakyat. Demokrasi kemungkinan didefinisikan tidak hanya seperti pemerintahan oleh rakyat tetapi juga, dalam formulasi yang terkenal dari Abraham Lincoln, adalah pemerintah untuk rakyat bahwa demokrasi sesuai dengan pilihan rakyat.
Robert Dahl menunjukkan, demokrasi responsive yang layak dapat terjadi jika paling sedikitnya terdapat jaminan terhadapdelapan institusi :
1.    Kebebasan untuk membuat dan bergabung dalam organisasi
2.    Kebebasan untuk berekspresi
3.    Hak untuk memilih
4.    Sifat memenuhi syarat untuk jabatan pemerintahan
5.    Hak terhadap pemimpin-pemimpin politik untuk bersaing untuk pendukung dan suara
6.    Sumber-sumber alternative terhadap informasi
7.    Pemilihan umum yang bebas dan jujur
8.    Institusi-institusi untuk pembuatan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tergantung pada suara pemilih dan pernyataan-pernyataa pilihan yang lain.

Dengan demikian jelas bahwa pemilihan umum merupakan salah satu unsur terpenting dalam suatu Negara demokrasi. Pelaksanaan kedaulatan rakyat dilakukan dengan menjalankan pemilihan umum. Rakyat dapat memberikan suara politiknya dengan ikut serta dalam pemilihan umum untuk memilih wakil-wakilnya yang akan memimpin negaranya dan juga menyuarakan kepentingannya.
Dalam pemilihan umum yang dilakukan oleh beberapa Negara saat ini, partai politik merupakan wadah organisasi yang penting untuk menyalurkan aspirasi politik seorang warga Negara. Partai politik merupakan suaut wadah yang secara konstitusional diakui dibanyak Negara-negara saat ini sebagai organisasi yang mewakili dan menjadi penghubung antara pemerintah dan rakyatnya. 


»»  Selengkapnya...

Selasa, 08 Mei 2012

Peranan Media Massa dalam Politik


 Peranan Media Massa dalam Politik
Dunia politik juga ditandai dengan keterlibatan media dalam hiruk-pikuk berpolitik. Media dalam hal ini diartikan secara luas, yaitu segala sarana yang terkait dengan penyampaian pesan, baik yang bersifat riil maupun simbolik, dari institusi politik kepada masyarakat yang lebih luas. Media dalam hal ini dapat berupa TV radio, majalah, dan koran. Digunakannya media massa sebagai instrumen untuk mengkomunikasikan ide, pesan, dan program kerja politik adalah karena kenyataan bahwa media dapat dipakai untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat luas dengan biaya orang yang relatif sangat murah.
Keefektifan media massa dalam menyampaikan pesan politik telah menjadikannya sebagai ajang baru pertempuran politik. Dengan dicanangkannya deklarasi bahwa abad ini adalah Abad Informasi membuat siapa pun yang memiliki akses kepada media massa memiliki kemampuan untuk mengai'ahkan dan membentuk opini publik sesuai dengan yang diharapkannya. Perang media merupakan suatu keniscayaan den-an adanya kemajuan teknologi. Konsekuensi logisnya, dunia politik tidak dapat dipisahkan dari media massa. Persaingan pun muncul untuk mencari aliansi. dengan suatu media massa guna menjamin lancarnya pesan politik yang ingin disampaikan.

  1. Media dan opini publik
Dengan kemampuannya untuk menjangkau massa dalam jumlah yang cukup besar, informasi dari media massa akan dapat menembus populasi yang besar pula. Sementara ini penelitian da­lam komunikasi, psikologi, dan sosiologi menyatakan bahwa, cara pandang manusia akan sangat ditentukan oleh jenis dan volume informasi yang mereka terima ­adalah bahwa kita dapat informasi yang mereka terima. Implisit dari penelitian-penelitian ini adalah bahwa kita dapat membentuk opini publik melalui informasi yang kita berikan. Ketika kekuatan politik ingin mendiskreditkan image politik lawan, yang perlu dilakukan sudah cukup dengan membanjiri informasi di media massa dengan hal-hal buruk yang dilakukan lawan politik. Begitu juga sebaliknya, ketika ingin membentuk image positif dari publik, cukup dengan membanjiri media massa dengan hal-hal positif dari suatu partai atau kandidat.
Sebuah kasus perbuatan mesum seorang anggota DPR beberapa waktu yang lalu tidak akan menjadi berita yang begitu ramai dibicarakan kalau kita tidak hidup di era kebebasan pers dan media. Sulit sekali untuk menyembunyikan kebobrokan peri­laku dewasa ini. Informasi dan berita tidak mengenakkan akan dapat dengan mudah tersebar melalui SMS, internet, dan bentuk­-bentuk pemberitaan lainnya. Di mana pemberitaan media massa ini sangatlah efektif dalam membentuk opini publik akan suatu hal. Sehingga media massa memainkan peran yang sangat penting dalam berpolitik dewasa ini. Peningkatan posisi tawar-menawar akan sangat tergantung kepada seberapa besar kita dapat memengaruhi opini publik untuk dapat berpihak kepada kita.
Memang, pada kenyataannya, hubungan itu tidak akan sese­derhana dan selinier ini. Terdapat banyak sekali gangguan (noise) yang dapat menjauhkan dari tujuan semula. Beberapa gangguan dapat disebabkan oleh usaha yang dilakukan partai/calon untuk mengklarifikasi informasi, menyatakan image positifnya, dan menolak tuduhan yang diberikan lawan politik. Selain itu juga terdapat bias persepsi dari setiap individu. Informasi yang diberikan tidak selalu diartikan sama seperti yang dimaksudkan oleh si pengirim informasi. Gangguan juga dapat berasal dari media itu sendiri, di mana informasi yang diberikan oleh `sender' bisa diartikan berbeda oleh jurnalis yang meliput.

  1. Media dan kekuasaan politik
Kemampuan untuk membentuk opini publik ini membuat media massa memiliki kekuasaan politik. Paling tidak, media memiliki kekuasaan untuk membawa pesan politik dan membentuk opini publik. Kemampuan ini dapat dijadikan sumber bagi media massa untuk proses tawar-menawar dengan institusi politik. Kesulitan untuk bernegosiasi dengan media massa seringkali terjadi karena ideologi politik tertentu memiliki media sendiri, Tidak jarang juga media massa mengambil sikap independen clan menjadi'kekuatan politik penyeimbang dari kekuatan politik. Dalam hal ini, media massa menjadi kekuatan kritis clan alternatif.
Karena itu, tidak mengherankan kalau kemunculan media massa di Indonesia juga tidak dapat dijelaskan oleh rasianalitas ekonomis saja. Hal ini juga terkait erat den-an keinginan untuk berkuasa. Ide, gagasan, dan isu politik akan dapat den-an muclah ditransfer dan dikomunikasikan melalui media massa. Hal ini membuat kekuasaan politik tidak hanya ada di tangan partai politik, tetapi juga siapa pun yang memiliki kemampuan untuk memengaruhi kebijakan publik.
Kenyataan tentang pentingnya media massa bagi partai politik rupanya telah lama disadari. Bahkan koran Kompas yang saat ini bersikap independen, kelahirannya tidak bisa dilepaskan dari eksistensi Partai Katolik. Harian paling besar di Indonesia dan saat ini bisnisnya telah meraksasa sehingga memasuki banyak bidang ini digagas oleh para tokoh Partai Katolik. Pada saat ini niscaya Kompas memiliki posisi runding yang kuat dalam bidang politik Tentu saja tidak berarti bahwa para pemimpinnya lalu menjadi tokoh politik yang kuat, tapi suaranya niscaya didengarkan atau `dibungkam'-seperti pada masa Orde Baru-oleh para penguasa, politik. Sebagai koran, Kompas telah `melahirkan' banyak tokoh berbagai bidang, termasuk politik.
Demikian pula yang terjadi dengan koran Republika. Koran ini didirikan oleh ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Terlepas keterkaitan antara ICMI dengan Golkar pada masa didirikannya Republika, koran ini mengangkut suatu ideologi tertentu, setidak-tidaknya ideologi dari suatu kelompok Muslim. Sinar Harapan pada awalnya dikenal sebagai korannya orang Kristen. Ketika dibredel pada masa Orde Baru, koran ini berganti nama menjadi Suara Pembaruan. Setelah era reformasi, salah satu kelompok di koran ini membentuk kembali Sinar Harapan, sehingga sekarang ini ada dua koran yang sebetulnya satu itu. Salah satu koran besar di Indonesia, Media Indonesia-yang satu kelompok perusahaan dengan Metro TV-bisa dikatakan koran yang independen. Tetapi, pemilik koran ini, Surya Paloh adalah salah satu mantan petinggi Golkar yang sekarang mendirikan Partai Nasional Demokrat. Tidaklah mudah untuk menjaga independensi antara pemilik stasiun TV dengan menjabat sebagai salah satu ketua partai politik. Hal ini ditunjukkan bagaimana Metro TV yang secara penuh menyiarkan jalannya pertemuan antara PDI-P dan Golkar yang terjadi di Medan dan Palembang.


  1. Media dan bias Persepsi
Informasi yang disampaikan dalam media tidak selamanya objektif atau apa adanya. Seringkali terdapat bias informasi. Beberapa sumber bias informasi dapat terjadi baik dari sisi media maupun Masyarakat. Media adalah salah satu sumber bias informasi. Media sebagai identitas terdiri dari beberapa unit seperti jurnalis editor. Jurnalis seringkali menginterpretasikan secara berbeda informasi yang diterima dari sumber informasi. Interpretasi jurnalis mpunyai peran yang lebih besar ketimbang informasi dari sumber yang ditulis dan dipublikasikannya. Hal ini membuat pem­beritaan bisa melenceng (umpamanya dipolitisasi, diplesetkan) apa yang sesungguhnya terjadi atau dikatakan. Informasi yang diterima dari sumber begitu beragam, dan kalau sumbernya lebih dari satu, bisa jadi informasi yang muncul menjadi beragam dan terkadang kontradiktif satu dengan yang lain. Pemilihan informasi mana yang akan dipublikasikan akan sangat tergantung pada nilai, paham, ideologi, dan sistem moral yang dianut oleh media dan editor.
Bias persepsi juga dapat terjadi dari sisi masyarakat. Dalam diri setiap individu terdapat kerangka acuan (frame of  reference) yang akan menentukan cara mereka dalam berpikir dan bersikap terhadap suatu hal. Biasanya hal ini dapat bersumber dari latar belakang pendidikan, ekonomi, pekerjaan, suku, dan keluarga yang ikut membentuk cara berpikir mereka. Karenanya informasi yang sama dapat diartikan berbeda oleh setiap individu Akibat berikutnya, informasi yang diberitakan oleh media massa akan diterjemahkan dan disikapi dengan cara beragam pula. Hal ini juga dapat semakin menjauhkan jarak informasi yang sebenarnya dengan interpretasi yang dibangun dalam masyarakat.

  1. Media dan Komunikasi Politik
Arti penting media massa dalam menyampaikan pesan politik kepada masyarakat menempatkannya sebagai sesuatu yang penting dalam interaksi politik. Partai politik membutuhkan media yang memfasilitasi komunikasi politik. Dengan kemampuannya dalam menyebarkan informasi secara luas membuat pesan politik disalurkan melalui media massa. Apalagi utama, dari komunikasi pesan, program kerja partai, pencitraan adalah pembentukan opini publik. Semakin besar massa yang dapat disentuh oleh media massa, semakin strategis arti media massa tersebut.
Partai politik jelas sangat membutuhkan media massa. Melalui merekalah pesan politik akan disalurkan. Secara implisit hal ini menganjurkan bahwa politik sebaiknya membangun hubungan jangka panjang dengan media massa. Antara keduanya terdapat hubungan yang saling membutuhkan. Media massa membutuhkan sumber informasi-dan barangkali juga sumber dana--sementara partai politik membutuhkan media yang dapat membantu mereka dalam menyampaikan pesan politiknya. Bermusuhan dengan media massa adalah hal yang paling tragis, karena partai politik akan kehilangan mitra strategis yang dapat membantu mereka dalam komunikasi politik.

  1. Media sebagai medan pertempuran
Arti penting media massa dalam komunikasi politik membuat medan pertempuran dan persaingan politik untuk membentuk opini publik terfokus pada media. Masing-masing partai politik akan berusaha tampil dan diliput oleh media massa. Setiap aktivitas partai pasti akan melibatkan media massa. Hal ini dilakukan agar aktivitas mereka dapat disaksikan dan dimengerti oleh masyarakat luas. Masing-masing partai politik akan berusaha mendekati media massa tertentu yang memiliki jangkauan luas dalam masyarakat.
Wilayah pertempuran politik tidak hanya terjadi dari image­-mage politik yang ditampilkan, tetapi juga lobi-lobi politik dengan media massa. Tentunya hal ini juga mesti diperhatikan oleh media massa. Keberpihakan mereka terhadap suatu partai politik bisa menguntungkan dan merugikan image di mata masyarakat. nguntungkan, karena masyarakat dapat dengan mudah mengidentifikasi ideologi yang dikeluarkan oleh media massa tersebut. Merugikan karena hal ini bisa mengurangi pangsa pasar eka. Sementara itu, media massa juga dapat bersikap netral. Dalam aliran ini, mereka menerima dan mempublikasikan siapa yang dianggap layak dipublikasikan.


»»  Selengkapnya...

Dana Perimbangan dan Dana Bagi Hasil

DANA PERIMBANGAN
Dana Perimbangan merupakan sumber Pendapatan Daerah yang berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintah Daerah dalm mencapai tujuan pemberian otonomi kepada Daerah, yaitu terutama peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik.
            Dana perimbangan terdiri dari :
a.       Dana Bagi Hasil.
b.      Dana Alokasi Umum.
c.       Dana Alokasi Khusus.
Dana Bagi Hasil adalah bagian Daerah dari Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam. Merupakan alokasi yang dasarnya memperhatikan potensi Daerah penghasilan.
Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan antar Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan Desentrlisasi. Dana Alokasi Umum dialokasikan dengan tujuan pemerataan dengan memperhatiakan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk, dan dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah, sehingga perbedaan antara daerah maju bdan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil.
Dana Alokasi Khusus adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu. Dana Alokasi Khusus bertujuan untuk membantu membiayai kebutuhan-kebutuhan khusus Daerah.
DANA BAGI HASIL
Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA) memiliki 2 (dua) prinsip yaitu:
1. By Origin yaitu daerah penghasil akan mendapatkan porsi DBH SDA lebih besar daripada daerah lain dalam satu provinsi yang mendapatkan pemerataan dengan porsi tertentu.
2.  Realisasi yaitu penyaluran DBH SDA dilakukan berdasarkan realisasi penerimaan negaranya.
Berdasarkan PP 55 Tahun 2005, Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam terdiri dari :
1.DBH SDA Perikanan
2.DBH SDA Kehutanan
3.DBH SDA Pertambangan Umum
4.DBH SDA Pertambangan Minyak Bumi
5.DBH SDA Pertambangan Gas Bumi
6.DBH SDA Pertambangan Panas Bumi

Di dalam UU No.32 Tahun 2004 pasal 15,diatur hubungan dlam bidang keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,yang meliputi :
1.  Pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah;
2.      Pengalokasian dana perimbangan kepada Pemerintah Daerah; dan
3.      Pemberian pinjaman dan atau hibah kepada Pemerintah Daerah
Hubungan dalam bidang keuangan antar Pemerintah daerah meliputi
a.       Bagi hasil pajak dan non pajak antara Pemerintahan daerah Provinsi dan Pemerintahan daerah Kabupaten atau Kota
b.      Pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama;
c.       Pembiayaan bersama atas kerja sama antar daerah dan
d.      Pinjaman dan/ hibah antar Pemerintah an Daerah.


»»  Selengkapnya...